LATAR BELAKANG BERDIRINYA MADRASAH
DI INDONESIA
Di
Indonesia, permulaan munculnya Madrasah baru sekitar abab 20, meski demikian
latar belakang berdirinya madrasah tidak lepas dari dua faktor, yaitu semangat
pembaharuan Islam yang berasal dari islam pusat(timur Tengah) dan merupakan
respon pendidikan terhadap kebijakaan pemerintah Hindia Belanda yang mendirikan
serta mengembangkan sekolah. Hal ini juga diamini oleh M. Arsyad yang dikutip
Khoirul Umam, munculnya madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam dikarenakan
kekhawatiran terhadap pemerintah Hindia Belanda yang mendirikan sekolah-sekolah
umum tanpa dimasukkan pelajaran dan pendidikan agama Islam. Pemerintah Kolonial
menolak eksistensi pondok pesantren dalam sistem pendidikan yang hendak
dikembangkan di Hindia Belanda. Kurikulum maupun metode pembelajaran keagamaan
yang dikembangkan di pondok pesantren bagi pemerintah kolonial, tidak
kompatibel dengan kebijakan politik etis dan modernisasi di Hindia Belanda. Di
balik itu, pemerintah kolonial mencurigai peran penting pondok pesantren dalam
mendorong gerakan-gerakan nasionalisme dan prokemerdekaan di Hindia Belanda.
Menyikapi
kebijakan tersebut, tokoh-tokoh muslim di Indonesia akhirnya mendirikan dan
mengembangkan madrasah di Indonesia didasarkan pada tiga kepentingan utama,
yaitu: 1) penyesuaian dengan politik pendidikan pemerintah kolonial; 2)
menjembatani perbedaan sistem pendidikan keagamaan dengan sistem pendidikan
modern; 3) agenda modernisasi Islam itu sendiri.
Pemberlakuan
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah
mengantarkan pendidikan Islam ke dalam babak sejarah baru, yang antara lain
ditandai dengan pengukuhan sistem pendidikan Islam sebagai pranata pendidikan
nasional. Lembaga-lembaga pendidikan Islam kini memiliki peluang lebih besar
untuk tumbuh dan berkembang serta meningkatkan kontribusinya dalam pembangunan
pendidikan nasional. Di dalam Undang-Undang itu setiap kali disebutkan sekolah,
misalnya pada jenjang pendidikan dasar yaitu sekolah dasar, selalu dikaitkan
dengan madrasah ibtidaiyah, disebutkan sekolah menengah pertama dikaitkan
dengan madrasah tsanawiyah, disebutkan sekolah menengah dikaitkan dengan
madrasah aliyah, dan lembaga-lembaga pendidikan lain yang sederajat, begitu
pula dengan lembaga pendidikan non formal.
Madrasah
yang merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam, memiliki kiprah panjang
dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan madrasah merupakan bagian dari
pendidikan nasional yang memiliki kontribusi tidak kecil dalam pembangunan
pendidikan nasional atau kebijakan pendidikan nasional. Madrasah telah
memberikan sumbangan yang sangat signifikan dalam proses pencerdasan masyarakat
dan bangsa, khususnya dalam konteks perluasan akses dan pemerataan pendidikan.
Dengan biaya yang relatif murah dan distribusi lembaga yang menjangkau
daerah-daerah terpencil, madrasah membuka akses atau kesempatan yang lebih bagi
masyarakat miskin dan marginal untuk mendapatkan pelayanan pendidikan. Walau
demikian para penulis sejarah pendidikan Islam di Indonesia agaknya sepakat
dalam menyebut beberapa madrasah pada periode pertumbuhan, khususnya di wilayah
Sumatera dan Jawa. Mahmud Yunus memasukkan ke dalam madrasah kurun pertumbuhan
ini antara lain Adabiah School (1909) dan Diniah School Labai al-Yunusi (1915)
di Sumatera Barat, Madrasa Nahdlatul Ulama di Jawa Timur, Madrasah Muhammadiyah
di Yogyakarta, Madrasah Tasywiq Thullab di Jawa Tengah, Madrasah Persatuan Umat
Islam di Jawa Barat, Madrasah Jami’atul Khair di Jakarta, Madrasah Amiriah
Islamiyah di Sulawesi dan Madrasah Assulthaniyah di Kalimantan.
Kontribusi
Madrasah terhadap Indonesia kajian historis dan visioner
Salah
satu pilar pendidikan nasional adalah perluasan dan pemerataan akses pendidikan.
Upaya perluasan dan pemerataan akses pendidikan yang ditujukan dalam upaya
perluasan daya tampung satuan pendidikan dengan mengacu pada skala prioritas
nasional yang memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh peserta didik dari
berbagai golongan masyarakat yang beraneka ragam baik secara sosial, ekonomi,
gender, geografis, maupun tingkat kemampuan intelektual dan kondisi fisik.
Perluasan dan pemerataan akses memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi
penduduk Indonesia untuk dapat belajar sepanjang hayat dalam rangka peningkatan
daya saing bangsa di era globalisasi.
Pendirian
madrasah oleh para pemuka muslim di berbagai pelosok negeri memainkan peranan
yang sangat penting dalam membuka akses bagi masyarakat miskin dan terpencil
untuk memperoleh layanan pendidikan. Komitmen moral ini dalam kenyataan tidak
pernah surut, sehingga secara kelembagaan madrasah terus mengalami perkembangan
yang sangat pesat hingga sekarang. Berdasarkan statisik pendidikan Islam tahun
2007, laju pertumbuhan madrasah dalam lima tahun terakhir mencapai rata-rata
kisaran 3% per tahun dan lebih dari 50% madrasah berada di luar Jawa yang
terdistribusi di daerah pedesaan.Sumbangan madrasah dalam konteks perluasan
akses dan pemerataan pendidikan tergambar secara jelas dalam jumlah penduduk
usia sekolah yang menjadi peserta didik madrasah. Pada tahun 2007, jumlah
seluruh peserta madrasah pada semua jenjang pendidikan sebesar 6.075.210
peserta didik. Adapun Angka Partisipasi Kasar (APK) madrasah terhadap jumlah
penduduk usia sekolah pada masing-masing tingkatan adalah 10,8% MI, 16,4% MTs,
dan 6,0% MA. Kontribusi APK tersebut tersebar berasal dari madrasah swasta pada
masing-masing tingkatan.
Sumbangan
lain dari madrasah dalam pembangunan pendidikan nasional adalah dalam
penuntasan wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) sembilan tahun.
Program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun pada pendidikan madrasah
dikembangkan melalui Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs).
Jumlah MI sebanyak 22.610 buah dengan 3.050.555 peserta didik. Jumlah MTs
sebanyak 12.498 buah dengan 2.531.656 peserta didik. Jumlah peserta didik dalam
program wajib belajar pendidikan sembilan tahun terdiri dari 47,2% peserta
didik MI dan 31,8 peserta didik MTs. Sisanya 21,0% peserta didik/santri pondok
pesantren salafiah. Kontribusi madrasah terhadap penuntasan wajib belajar
pendidikan dasar sembilan tahun cukup lumayan besar mencapai 17%. Meskipun
belum tercapai, namun diharapkan sampai tahun 2009 dapat dituntaskan. Kriteria
tuntas adalah angka partisipasi kasar (APK) mengikuti pendidikan SMP atau
Madrasah Tsanawiyah mencapai 95%. Sampai tahun 2008 baru mencapai sekitar
92,3%. Angka sisanya yaitu sekitar 2,7 % diharapkan pada tahun 2009 dapat
dicapai angka partisipasi kasar pendidikan dasar sembilan tahun hingga 95%.
Artinya wajib belajar pendidikan dasar pendidikan dasar sembilan tahun itu
dianggap tuntas, meskipun 95% masih ada sisanya 5%. Angka 5% dari 50 juta anak
usia sekolah bisa dikatakan lumayan banyak yang tercecer, tetapi bisa dianggap
selesai. Sedangkan jika dilihat secara keseluruhan termasuk Madrasah Aliyah,
kontribusi madrasah dari mulai MI sampai MA terhadap angka partisipasi
mengikuti pendidikan di berbagai jenjang pendidikan secara agregat atau secara
keseluruhan itu bisa mencapai 21%. Bukan angka sedikit 21% dari sekitar 60 juta
penduduk. Artinya masyarakat terutama madrasah telah memberikan andil pada
upaya-upaya pemerintah menyediakan lembaga-lembaga pendidikan yang cukup besar.
Di samping kenaikan APK, indikator lain dari percepatan penuntasan program
wajib belajar sembilan tahun adalah semakin menurunnya angka drop out pada
tahun 2006 sebesar 0,6 % menjadi 0,4 % pada tahun 2007 untuk MI dan untuk MTs
sebesar 1,06 % pada tahun 2006 menjadi 1,02 % pada tahun 2007. Pada tahun 2008
angka drop out pada MI dan MTs diperkirakan turun 1,04 % sedangkan APK pada MI
dan MTs masing-masing mencapai 14,75 % dan 20,70 %.
Peran
penting dalam rangka perluasan akses masyarakat dari kelompok marginal tampak
secara jelas dari latar belakang keluarga peserta didiknya. Berdasarkan
Statistik Pendidikan Islam Tahun 2007, lebih dari 92,7% orang tua peserta didik
madrasah berpendidikan sederajat atau kurang dari SLTA dengan pekerjaan utama
sebagai petani, nelayan, dan buruh (58,0%). Sejalan dengan kondisi ini, 85%
berpenghasilan kurang dari Rp. 1 juta per bulan.Gambaran kondisi orang tua
peserta didik tersebut menunjukkan bahwa madrasah memiliki aksessibilitas yang
tinggi terhadap peserta didik dengan latar belakang keluarga masyarakat yang
miskin secara ekonomi.
Aksessibilitas
madrasah bagi kelompok marginal juga tercermin pada aspek kultural, yaitu
perannya yang penting dalam gender mainstreaming bidang pendidikan berkenaan
dengan komposisi peserta didiknya yang sebagian besar kaum perempuan. Realitas
ini adalah prakondisi yang baik bagi pengembangan pendidikan Islam berwawasan
gender dan juga sekaligus menepis tudingan berbagai kalangan bahwa sikap dan
pandangan keagamaan umat Islam cenderung diskriminatif terhadap perempuan.
Isu-
isu eksistensi dan implikasinya
Dalam
perkembangannya, sistem pendidikan Islam madrasah sudah tidak menggunakan
sistem pendidikan yang sama dengan sistem pendidikan Islam pesantren. Karena di
lembaga pendidikan madrasah ini sudah mulai dimasukkan pelajaran-pelajaran umum
seperti sejarah ilmu bumi, dan pelajaran umum lainnya. Sedangkan metode
pengajarannya pun sudah tidak lagi menggunakan sistem halaqah, melainkan sudah
mengikuti metode pendidikan moderen barat, yaitu dengan menggunakan ruang
kelas, kursi, meja, dan papan tulis untuk proses belajar mengajar. Melihat
kenyataan sejarah, kita tentunya bangga dengan sistem dan lembaga pendidikan
Islam madrasah yang ada di Indonesia. Apalagi dengan metode dan kurikulum
pelajarannya yang sudah mengadaptasi sistem pendidikan serta kurikulum
pelajaran umum. Peran dan kontribusi madrasah yang begitu besar itu pada
gilirannya—sejak awal kemerdekaan—sangat terkait dengan peran Departemen Agama
yang mulai resmi berdiri 3 Januari 1946. Lembaga inilah yang secara intensif
memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Orientasi usaha
Departemen Agama dalam bidang pendidikan Islam bertumpu pada aspirasi umat
Islam agar pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah, di samping pada
pengembangan madrasah itu sendiri. Perkembangan serta kemajuan pendidikan Islam
terus meningkat secara signifikan. Hal itu dapat dilihat misalnya pada
pertengahan dekade 60-an, madrasah sudah tersebar di berbagai daerah di hampir
seluruh propinsi Indonesia. Dilaporkan bahwa jumlah madrasah tingkat rendah pada
masa itu sudah mencapai 13.057. dengan jumlah ini, sedikitnya 1.927.777 telah
terserap untuk mengenyam pendidikan agama. Laporan yang sama juga menyebutkan
jumlah madrasah tingkat pertama (tsanawiyah) yang mencapai 776 buah dengan
jumlah murid 87.932. Adapun jumlah madrasah tingkat Aliyah diperkirakan
mencapai 16 madrasah dengan jumlah murid 1.881. Dengan demikian, berdasarkan
laporan ini, jumlah madrasah secara keseluruhan sudah mencapai 13.849 dengan
jumlah murid sebanyak 2.017.590. Perkembangan ini menunjukkan bahwa sudah sejak
awal, pendidikan madrasah memberikan sumbangan yang signifikan bagi proses
pencerdasan dan pembinaan akhlak bangsa.
Dalam
pada itu, meskipun pemerintah melalui departemen agama sudah banyak melakukan
perubahan dan perumusan kebijakan di sana-sini untuk memajukan madrasah, namun
itu belum terlalu berhasil jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum yang
dalam hal ini dikelola oleh departemen pendidikan.Karena realitasnya,
masyarakat hingga periode 90-an masih mempunyai sense of interest yang tinggi
untuk masuk ke sekolah-sekolah umum yang dinilainya mempunyai prestise yang
lebih baik daripada madrasah / sekolah Islam (Islamic School). Lebih dari itu,
dengan masuk ke sekolah-sekolah umum, masa depan siswa akan lebih terjamin ketimbang
masuk ke madrasah atau sekolah Islam. Hal itu bisa jadi disebabkan oleh image
yang menggambarkan lulusan-lulusan madrasah tidak mampu bersaing dengan
lulusan-lulusan dari sekolah-sekolah umum. Lulusan madrasah hanya mampu menjadi
seorang guru agama atau ustdaz. Sedangkan lulusan dari sekolah umum mampu masuk
ke sekolah-sekolah umum yang lebih bonafide dan mempunyai jaminan lapangan
pekerjaan yang pasti.Dalam konteks kekinian, image madrasah atau sekolah Islam
telah berubah. Madrasah sekarang tidak lagi menjadi sekolah Islam yang hanya
diminati oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Melainkan sudah diminati oleh
siswa-siswa yang berasal dari masyarakat golongan kelas menengah ke atas. Hal
itu disebabkan sekolah-sekolah Islam atau madrasah elit yang sejajar dengan
sekolah-sekolah umum sudah banyak bermunculan. Diantara madrasah atau sekolah
Islam itu adalah; Madrasah Pembangunan UIN Jakarta, Sekolah Islam al-Azhar,
Sekolah Islam al-Izhar, Sekolah Islam Insan Cendekia, Madania School, dan lain
sebagainya.
Sebelum
mengalami perkembangan seperti sekarang ini, madrasah hanya diperuntukkan bagi
kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah. Namun sejak mulai mengadopsi
sistem pendidikan moderen yang berasal dari Barat sambil tetap mempertahankan
yang sudah ada dan dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang mendukung iklim
pembelajaran siswa dan pengajaran siswa, madrasah (atau sekolah Islam) sekarang
sudah sangat diminati oleh kalangan masyarakat kelas menengah ke atas. Apalagi
madrasah sekarang ini sudah banyak yang menjalankan dengan apa yang disebut
sebagai English Daily. Semua guru dan siswa dalam kegiatan belajar mengajar
harus berbicara dalam bahasa Inggris. Madrasah seperti Madrasah Pembangunan UIN
Jakarta, Sekolah Islam Al-Azhar, sekolah Islam Al-Izhar, Sekolah Islam Insan
Cendekia, dan lain sebagainya adalah beberapa contoh diantaranya.Kemampuan
bahasa asing yang bagus di era globalisasi seperti sekarang ini mutlak
diperlukan. Oleh karena itu, di beberapa madrasah dan sekolah Islam itu
kemudian tidak hanya memberikan pengetahuan bahasa Inggris saja. Lebih dari
itu, pengetahuan bahasa asing lainnya juga absolut diajarkan oleh madrasah
seperti bahasa Arab misalnya. Atau bahasa Jepang, Mandarin dan lainnya pada
tingkat Madrasah Aliyah. Di samping itu, dalam menghadapi era globalisasi,
madrasah sebagai institusi pendidikan Islam tidak lantas cukup merasa puas atas
keberhasilan yang telah dicapainya dengan memberikan pengetahuan bahasa asing
kepada para siswanya dan desain kurikulum pendidikan yang kompatibel dan memang
dibutuhkan oleh madrasah.
Akan
tetapi, justru madrasah harus terus berpikir ulang secara berkelanjutan yang
mengarah kepada progresivitas madrasah dan para siswanya. Oleh karena itu,
dalam pendidikan madrasah memang sangat diperlukan pendidikan keterampilan.
Pendidikan keterampilan ini bisa berbentuk kegiatan ekstra kurikuler atau
kegiatan intra kurikuler yang berupa pelatihan atau kursus komputer, tari,
menulis, musik, teknik, montir, lukis, jurnalistik atau mungkin juga kegiatan
olahraga seperti sepak bola, basket, bulu tangkis, catur dan lain sebagainya.
Dari pendidikan keterampilan nantinya diharapkan akan berguna ketika para siswa
lulus dari madrasah. Karena jika sudah dibekali dengan pendidikan keterampilan,
ketika ada siswa yang tidak dapat melanjutkan sekolahnya ke tingkat yang lebih
tinggi seperti universitas misalnya, maka siswa dengan bekal keterampilan yang
sudah pernah didapatnya ketika di madrasah tidak akan kesulitan lagi dalam
upaya mencari pekerjaan. Jadi, kiranya penting bagi madrasah untuk
mengembangkan pendidikan keterampilan tersebut. Sebab, dengan begitu siswa akan
langsung dapat mengamalkan ilmunya setelah lulus dari madrasah atau sekolah
Islam. Namun semua itu tentunya harus dilakukan secara profesional.Dengan
adanya pendidikan keterampilan di sekolah-sekolah Islam atau madrasah, lulusan
madrasah diharapkan mampu merespon tantangan dunia global yang semakin
kompetitif. Dan nama serta citra madrasah juga tetap akan terjaga. Karena
ternyata alumni-alumni madrasah mempunyai kompetensi yang tidak kalah
kualitasnya dengan alumni sekolah-sekolah umum.
Solusi
yang ditawarkan
Solusinya
adalah dengan mempertimbagkan kembali ide yang sebenarnya sudah lama disuarakan
oleh beberapa kalangan, yaitu adanya pendapat yang menginginkan pendidikan satu
atap di negeri ini. Seperti yang diungkapkan bahwa fenomena penganaktirian
madrasah sesungguhnya adalah konsekwensi dari pemberlakuan dualisme manajemen
pendidikan di negeri ini yang berlangsung sudah sejak lama. Maka terkait dengan
masalah dualisme pendidikan ini, ide tentang pendidikan satu atap ini juga
layak kembali dipertimbangkan.Menurut saya ketika semangat otonomi pendidikan
menjadi isu sentral dalam reformasi pendidikan nasional, maka madrasah
seharusnya include dalam semangat otonomi itu. Ada banyak alasan ilmiah yang
menguatkan bahwa otonomi pendidikan diyakini akan mendatangkan kemaslahatan
terhadap peningkatan kualitas pendidikan nasional di masa datang. Masalahnya
adalah sekalipun madrasah sesungguhnya bergerak di bidang pendidikan yang sudah
ditonomikan, selama ini madrasah berada dalam jalur birokrasi Departemen Agama
yang tidak diberikan wewenang otonomi, makaakibatnya jadilah madrasah sebagai
anak tiri oleh pemerintahan daerah.Sebagai pendidik saya berkeyakinan bahwa
pendidikan satu atap, dimana pendidikan hanya dikelola oleh satu departemen,
dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, akan memberikan dampak luar bisa
kepada perkembangan madrasah pada masa datang. Apalagi UU No.20/2003 telah
menegaskan bahwa madrasah dalam banyak hal, seperti dalam hal kedududukan,
status, dan kurikulum sama persih dengan sekolah umum, maka secara yuridis ide
pendidikan satu atap ini sesungguhnya telah memiliki landasan hukum yang sangat
kuat.Pada tataran praktis, kalau ummat Islam khawatir memudarnya idealisme
pendidikan Islam di madrasah, kenapa tidak dibuka saja satu jurusan baru di
SMA, jurusan Pendidikan Agama Islam misalnya, yang khusus mengakomodir
keinginan peserta didik untuk mempelajari agama Islam secara lebih mendalam?
Apalagi bukankah juga sudah ada ribuan pesantern yang memfasilitasi keinginan
itu? Saya yakin wacana tentang “pendidikan satu atap ini” sangat debatable,
karena ada banyak kepentingan di situ. Tapi poin saya adalah semua kalangan
dalam pendidikan Islam tidak boleh berhenti mencarikan solusi terbaik agar
madrasah tidak terus menerus menjadi anak tiri, agar madrasah bisa “dipangku
ibu pertiwi” dalam makna yang sesungguhnya.
Daftar
Refrensi
Direktorat
Jenderal Pendidikan Agama Islam. (2008). Kebijakan Departemen Agama dalam
Peningkatan Mutu Madrasah di Indonesia. Jakarta: Ditjen Penais Departemen
Agama.
SEJARAH BERDIRINYA MADRASAH
Madrasah adalah saksi perjuangan
pendidikan yang tak kenal henti. Pada jaman penjajahan Belanda
madrasah didirikan untuk semua warga.Sejarah mencatat , Madrasah pertama kali
berdiri di Sumatram, Madrasah Adabiyah ( 1908, dimotori Abdullah Ahmad), tahun
1910 berdiri madrasah Schoel di Batusangkar oleh Syaikh M. Taib Umar, kemudian
M. Mahmud Yunus pada 1918 mendirikan Diniyah Schoel sebagai lanjutan dari
Madrasah schoel, Madrasah Tawalib didirikan Syeikh Abdul Karim Amrullah di
Padang Panjang (1907). lalu, Madrasah Nurul Uman didirikan H. Abdul Somad
di Jambi.
Madrasah
berkembang di jawa mulai 1912. ada model madrasah pesantren NU dalam bentuk
Madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Mualimin Wustha, dan Muallimin
Ulya ( mulai 1919), ada madrasah yang mengaprosiasi sistem pendidikan
belanda plus, seperti muhammadiyah ( 1912) yang mendirikan Madrasah Ibtidaiyah,
Tsanawiyah, Muallimin, Mubalighin, dan Madrasah Diniyah. Ada juga model
AL-Irsyad ( 1913) yang mendirikan Madrasah Tajhiziyah, Muallimin dan Tahassus,
atau model Madrasah PUI di Jabar yang mengembangkan madrasah pertanian, itulah
singkat tentang sejarah madrasah di indonesia.
Dari
jaman penjajahan, orde lama, orde baru, era repormasi sampai era sby, nasib
madrasah di indonesia sangatlah memperihatinkan dan seolah-olah di anaktirikan
oleh pemerintah, padahal ada banyak sekali elit politik yang duduk di kursi
DPR, MPR, ISTANA dan lembaga kebijakan negara lainnya yang lahir dan berlatar
belakang dari madrasah, lulusan madrasah tidak bisa di pandang sebelah mata
atau juga di anggap remeh, justru lulusan-lulusan madrasah memiliki nilai lebih
bukan saja karen faktor agama yang diperdalam tapi banyak faktor lainnya.
Versi
lain Sejarah madrasah
Madrasah
adalah saksi dari perjuangan pendidikan yang tak kenal henti. Pada zaman
penjajahan Belanda, madrasah didirikan untuk semua warga. Sejarah mencatat,
madrasah pertama kali berdiri di Sumatra, Madrasah Adabiyah (1908, dimotori
Syekh Abdullah Ahmad), tahun 1910 berdiri Madrasah Schoel di Batusangkar oleh
Syaikh M. Taib Umar, kemudian M. Mahmud Yunus pada 1918 mendirikan Diniyah
Schoel sebagai lanjutan dari Madrasah Schoel. Madrasah Tawalib didirikan Syeikh
Abdul Karim Amrullah di Padang Panjang (1907). Lalu, Madrasah Nurul Uman
dididirikan H. Abdul Somad di Jambi.
Madrasah
berkembang di Jawa mulai 1912. Ada model madrasah-pesantren NU dalam bentuk
Madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin Wustha, dan Muallimin Ulya
(mulai 1919); ada madrasah yang mengapropriasi sistem pendidikan Belanda plus,
seperti Muhammadiyah (1912) yang mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsnawiyah,
Muallimin, Muballighin, dan madrasah Diniyah. Ada juga model Al-Irsyad (1913)
yang mendirikan madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Madrasah Tajhiziyah, Muallimin
dan Tahassus; atau model madrasah PUI di Jabar yang mengembangkan madrasah
pertanian.
Belanda
tentu saja resah akan perkembangan madrasah, lalu keluarlah peraturan yang
menetapkan madrasah sebagai “sekolah liar”, kemudian mengeluarkan sejumlah
peraturan yang melarang atau membatasi madrasah. Kalaupun kemudian Pemerintah
Belanda memberikan apresiasi pada kepentingan Islam, bantuan diberikan 7.500
gulden untuk 50.000.000 jiwa. Menyimak pidato Oto Iskandardinata pada 1928 di
Voolkraad, bantuan itu dianggap penghinaan karena seharusnya yang diberikan
Belanda satu juta gulden.
Akan
tetapi, madrasah berdiri di mana-mana. Madrasah adalah perjuangan warga
republik ini untuk mendapatkan pendidikan. Pada 1915 berdiri madrasah bagi kaum
perempuan, yaitu Madrasah Diniyah putri yang didirikan Rangkayo Rahmah
Al-Yunisiah. Zaiuniddin Labai ini juga yang pertama kali mendirikan Persatuan
Guru-Guru Agama Islam (PGAI) di Minangkabau pada 1919.
Sayangnya,
madrasah tetap saja tersingkirkan. Saat Indonesia merdeka, madrasah masih
dianggap sebagai pendidikan kelas dua. Pemerintah Indonesia hanya mengeluarkan
Maklumat BP KNIP 22 Desember 1945 No. 15 yang menyerukan agar pendidikan di musala
dan madrasah berjalan terus dan diperpesat; kemudian diperhatikan melalui
keputusan BP KNIP 27 Desember 1945 (agar madrasah mendapat perhatian dan
bantuan dari pemerintah) dan melalui Laporan Panitia Penyelidik Pengarahan RI
tanggal 2 Mei 1946 yang menegaskan, pengajaran yang bersifat pondok pesantren
dan madrasah dipandang perlu untuk dipertinggi dan dimodernisasi serta diberi
bantuan berupa biaya sesuai dengan keputuan BP KNIP. Perhatian pemerintah
negeri ini diwujudkan dengan PP No. 33 Tahun 1949 dan PP No. 8 Tahun 1950 yang
memberikan bantuan kepada madrasah dengan subsidi per siswa @ Rp 60,00.
Baru
pada masa reformasi, UU No. 20/2003 tentang UUSPN khususnya Pasal 17 Ayat 2 dan
Pasal 18 Ayat 3, madrasah diakui statusnya sederajat dengan sekolah umum.
Namun, pemerintah masih enggan memberikan bantuan, apalagi pernah beredar Surat
Edaran Menteri Dalam Negeri Moh Ma`ruf, tanggal 21 September 2005 No.
903/2429/SJ tentang Pedoman Penyusunan APBD 2006 yang melarang pemerintah
daerah mengalokasikan APBD kepada organisasi vertikal (termasuk terhadap
madrasah).
Reformasi
kemudian melahirkan PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan. Pada PP ini terdapat Pasal 12 ayat (1) yang menyebutkan
pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberi bantuan sumber daya pendidikan
kepada pendidikan keagamaan. Anehnya, PP ini pun masih dianggap angin lalu.
Masih banyak pemerintah daerah yang belum memberikan perimbangan dana kepada
madrasah. Dana 20% pendidikan di APBD masih menjadikan madrasah sebagai
sisipan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar